adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas
Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe
Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa
Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari
Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam
memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya
dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul
Catatan Seorang Demonstran (1983).
Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie
Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok
Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan
sekarang berdomisili di Australia.
Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa,
misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan
Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari
seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah
dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Catatan Seorang Demonstran.
Catatan Seorang Demonstran.
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun
1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah.
Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di
Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan
Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat
terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan
yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik
pemerintahan Orde Lama. Berikut adalah puisi-puisinya :
========================================
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang-jurang mu
aku datang kembali...
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
aku datang kembali...
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepiaku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966
Download Puisi MANDALAWANGI – PANGRANGO
========================================
SEBUAH TANYA
========================================
“akhirnya semua akan tiba========================================
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
Selasa, 1 April 1969
========================================
PESAN
========================================
========================================
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali merekaWajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
========================================
Harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973
========================================
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkahada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”
(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969)
Akhir perjalanan Soe:
15 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Soe Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong.