0 Tidak semua yang saya tulis adalah saya dan Tidak semua yang kamu baca adalah kamu.




Terima Kasih untuk Kebohonganmu

Seperti biasa, kamu menghilang dan tak ada kabar. Hari ini pun kamu tak mengizinkanku sedikit saja tahu keadaanmu, apakah pilekmu sudah hilang, apakah batukmu telah sembuh, apakah beberapa jerawat yang tumbuh di wajahmu telah kempes. Aku hanya ingin tahu jawaban sederhana itu dan kamu tak menyediakan sedikit saja waktumu untuk memberiku jawaban atas semua pertanyaan lugu itu. Dan, terima kasih, untuk lima hari yang penuh campur aduk, perkenalan ini membuat aku cepat mabuk juga cepat membasahi pelupuk mata.

Saat pertama kali kita bertemu, aku dan kamu sama-sama mengagumi ciptaan Tuhan yang disebut mata. Aku masih percaya Tuhan, kamu percaya tuhanmu adalah dirimu sendiri. Sepulang dari pertemuan itu, tanpa sepengetahuanku, kamu membuat puisi tentangku, yang kamu bacakan pada percakapan kita tengah malam itu. Dengan malu-malu, aku menyuguhkan dua puisi tolol yang entah bagaimana caranya puisi itu bisa membuatmu turut malu-malu. Aku merasa seperti anak SD yang dadanya berdebar kencang karena hal yang tidak kupahami sama sekali. Masa iya, ini cinta? Sementara tubuh putih, wajah oriental, dan pria berkacamata yang kutemui siang tadi; hanya beberapa menit mampir di pandangan mataku. Dan, kita sama-sama bertanya, ini cinta?

Dua hari yang lalu, kamu tiba-tiba muncul mengagetkanku, padahal paginya kamu menghilang tanpa jejak. Kejutanmu menyenangkan, tapi mengapa hal menyenangkan itu selalu diawali dengan hilangnya dirimu dalam jangka waktu yang lama? Tulisan ini akan sangat jelek dibaca, aku tidak ingin sastrawan sekelasmu membaca tulisan bodoh ini, sambil tertawa terbahak-bahak. Tidak jelas plotnya, tidak jelas alurnya, siapa tokohnya. Barisan paragraf ini kutulis hanya untuk menumpahkan kekesalanku pada kebohong-kebohongan bodohmu yang telak kupercayai dengan sangat berani.

Dua hari yang lalu, aku masih ingat rangkulanmu, aroma tubuhmu, saat pertama kali kamu mencium pipiku, saat kamu mengcup keningku, dan tanpa bisa mengemis; aku harus membiarkanmu pergi dengan cepat, menghilang bagai asap, dan duniaku kembali senyap. Kalau boleh jujur, gadis tolol ini telah mencintaimu, meskipun aku tahu betapa masa lalumu bukanlah hal yang mudah ditolerir oleh gadis seumurku. Aku percaya saja ketika kaubilang kautak lagi suka pada pria, aku menerima saja ketika kautak menceritakan apapun, dan saat kita bertemu; hanya aku yang selalu bercerita bagaimana aku memandang dunia. Mengapa kautak membiarkan aku tahu bagaimana isi dalam kepalamu? Memangnya aku ini masih gadis asing yang terlihat seperti pemberontak kelas kakap berusaha meringsek masuk ke dalam pagar duniamu?

Sejak mengenalmu, aku tak peduli bagaimana orang menilaimu, bagaimana caramu mencintai seseorang; cara-cara yang dibilang orang lain menyimpang. Aku tak pernah mengganggap bahwa aku berkenalan dengan seorang pelaku kriminal. Aku juga tak peduli pada hasil keingintahuanku bahwa ternyata kamu punya kekasih yang jenis kelaminnya sama denganmu. Itu bukan salahmu, salahku yang mencintaimu. Salahku. Salahku? Salahku!

Salahku yang mau melanjutkan perkenalan ini, padahal mungkin kautidak berselera pada gadis tolol yang masih dikekang orang tuanya, padahal mungkin kautak mau mengetahui sosokku lebih dalam. Salahku yang salah mengartikan semua, salah mengartikan sentuhanmu, salah mengartikan kecup lembutmu, salah memahami suara beratmu, salah menilai cara bicaramu, salah memaknai arti rangkulanmu, salah dalam banyak hal, salah mengapa aku, sekali lagi-- jatuh cinta padamu.

Salahkan aku jika tulisan ini juga salah, jika perasaan ini semakin ngawur, jika penilaianku yang kelewat absurd ini masuk kategori pikiran paling tolol versi On The Spot. Aku tak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri, menyesali yang selama ini kurasakan, tidak berpikir panjang mengenai apa yang seharusnya kulakukan jika menghadapi pria spesial sepertimu.

Aku tidak tahu, aku kalut pada rindu yang menggebu. Takut bahwa ternyata aku tak sebermakna itu di hatimu. Takut bahwa aku hanya kauanggap halte tempat kausinggah sebelum memutuskan pergi. Jika memang aku dilarang mencintaimu, mengapa kaumasih memberiku kesempatan untuk berharap??

dari lautmu
yang katamu
berhasil menghancurkan
batu karangmu...
SINOPSIS.
Biarkan waktu yang memilihkannya:
Bisa saja dia kekasih terbaikmu, dan kau kekasih terbaiknya, dan bisa pula kalian berdua adalah kekasih terbaik orang lain. Entahlah, percayakan semuanya pada cinta—dan waktu tentu saja.

Zera masih di ambang gamang. Ia tidak tahu ke mana cinta akan membawanya pergi:

Pada Yoga? Lelaki dingin yang dicintai secara diam-diam sejak kecil oleh Zera, dan lelaki yang tidak pernah mengatakan hal-hal yang lebih untuk dikatakan kepada seorang sahabat. Ya, mereka hanya sahabat kecil—walau terselip sesuatu yang lebih di dada Zera, entah di dada Yoga.

Atau Doni? Pelukis muda yang mengagumi Picasso. Sudah tentu Zera tidak harus menebak, sudah tentu ia tahu bahwa Doni mencintainya. Hanya saja, Zera tidak pernah yakin pada perasaannya sendiri, ia tidak tahu harus melabuhkan hatinya pada Doni yang begitu misterius atau pada Yoga yang telah memiliki Tasya.

Zera hanya tahu cinta pada akhirnya akan menyelamatkan dia dari lorong kegelapan. Zera masih ingin percaya bahwa cinta akan membawanya menuju cahaya terang. Tapi, siapakah yang akan menggenggam jemari Zera, secara lembut membisikan kalimat indah di telinga Zera, bahwa gadis pemurung itu masih berhak untuk bahagia?

Reactions:     
Judul Buku: Kekasih Terbaik
Penulis: Dwitasari
Tebal Halaman: 264 halaman
Penerbit: Loveable, Ufuk Publishing
Tahun Terbit: 2014
Harga Pre Order: Rp49.500 jadi Rp39.600
Musikalisasi Puisi by Dwitasari Dwita

G+



Mohon Aktifkan Javascript!Enable JavaScript